Sebagai seorang
pendidik anak usia dini, perlu mempelajari dan mengembangkan semua aspek
perkembangan anak. Perkembangan dan konsep dasar pengembangan anak usia dini
dari aspek kognitif, motorik, sosial emosional, bahasa dan seni, serta
perkembangan nilai-nilai agama.
Pendidikan anak usia
dini memegang peranan yang sangat penting dan menentukan bagi sejarah
perkembangan anak selanjutnya sebab pendidikan anak usia dini merupakan pondasi
bagi dasar kepribadian anak. Anak yang mendapatkan pembinaan yang baik sejak
usia dini akan dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan fisik dan
mentalnya, dan tentunya akan berdampak pada peningkatan prestasi belajar, etos
kerja dan produktivitas. Akhirnya, anak akan lebih mampu untuk mandiri dan
mengoptimalkan potensi yang dimiliki (Hibana, 2002).
Pendidik anak usia dini
dapat membantu anak memperoleh pengetahuan keterampilan (motorik, kemandirian,
sosialisasi) dan kebiasaan (kebersihan, antri, dan menjalankan disiplin), serta
kesenangan untuk belajar. Pengetahuan, keterampilan bermanfaat untuk kesuksesan
anak dikemudian hari karena pendidikan usia dini merupakan dasar dari
pembentukan kepribadian seseorang dimasa selanjutnya.
Kegagalan pendidikan
pada masa usia dini dapat menyebabkan seorang anak malas belajar atau gagal di
sekolah, kurang mandiri, kurang bisa bersosialisasi, bahkan mungkin anak-anak
tersebut akan menjadi anak yang antisosial sehingga suka menyakiti orang lain atau
tawuran atau menjadi koruptor nantinya (Hafidin, 2002). Akibat-akibat buruk
tadi semuanya berhubungan dengan pendidikan moral dan nilai-nilai agama.
Seorang pendidik adalah teladan yang baik bagi anak didiknya, terutama dalam
hal menanamkan tingkah laku atau moral serta nilai-nilai agama yang benar.
Perkembangan
Moral Anak Usia Dini
Moral adalah sesuatu
istilah yang mempunyai makna sangat luas. Aspek pengembangan moral dan nilai
agama ini, bersama dengan aspek pengembangan sosial, emosional dan kemandirian,
termasuk dalam aspek pengembangan yang berhubungan dengan pembentuknya perilaku
anak usia dini. Pembentukan perilaku harus dikembangkan melalui pembiasaan
yang dilakukan secara terus-menerus.
Aspek ini berbeda dengan aspek pengembangan fisik/motorik, bahasa, kognitif,
serta seni karena aspek-aspek ini termasuk dalam materi kegiatan pengembangan
kemampuan dasar anak usia dini. Pengembangan moral dan nilai agama adalah
kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan anak terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dan membina sikap anak dalam rangka meletakkan dasar agar anak menjadi
warga negara yang baik. Aspek pengembangan sosial emosional dan kemandirian
dimaksudkan untuk membina anak agar dapat mengendalikan emosinya secara wajar
secara baik, serta dapat menolong dirinya sendiri dalam rangka kecakapan hidup.
A.
PENGERTIAN
MORAL, MORALITAS, ETIKA, NILAI DAN KARAKTER
Pengertian dan konsep dasar moral menurut Hurlock
(1993, terjemahan) dan (Pratidarmanasiti, 1991 dalam C. Asri Budingsih, 2001), kata moral berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata
cara dalam kehidupan atau adat istiadat. Istilah moral sendiri dapat diartikan
sebagai ukuran-ukuran yang menentukan benar atau salah. Jadi, pengertian moral
mengacu pada aturan-aturan umum mengenai benar-salah atau baik-buruk yang
berlaku di masyarakat secara luas (Hidayat, 2005, h.2.4). Dewey mengatakan
bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai Sosial (Grinder,
1978 dalam C. Asri Budingsih, 2001). Sedangkan Baron, dkk. (1980 dalam C. Asri Budingsih, 2001)
mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan
tindakan yang membicarakan salah atau benar.
Istilah etika berasal dari kata Yunani, yaitu ethos yang berarti kebiasaan atau custom. Dalam bahasa Latin, mos berarti kebiasaan dan dari sinilah
kata moral atau moralitas (mores).
Secara etimologis, etika mempelajari kebiasaan manusia yang sebagian terdiri
dari konvensi-konvensi, seperti cara berpakaian, tata cara, tata krama, etiket,
dan sebagainya. Etika juga dikatakan sebagai filsafat moral atau filsafat
kesusilaan.
Etika atau moral mengacu pada nilai-nilai agama
karena kebenaran mutlak selalu berlandaskan pada agama, pada kebenaran Tuhan.
Mengenai pengertian karakter, Wynne (1991, dalam Megawangi, 2004) mengatakan
bahwa dua pengertian karakter. Karakter menunjuk pada bagaimana seseorang
bertingkah laku. Misalnya, apabila seseorang bertingkah laku tidak jujur maka
orang tersebut dikatakan berkarakter jelek. Sebaliknya, jika ada seseorang
berperilaku jujur, suka menolong maka orang tersebut dikatakan memiliki
karakter yang mulia. Pendidik akan usia dini diharapkan dapat membantu
mengembangkan atau menumbuhkan kebiasaan anak didiknya menjadi anak yang
berkarakter mulia (anak yang berakhlak mulia). Nilai adalah orientasi-orientasi
atau disposisi sementara dari karakter yang mencakup aksi atau aktivasi atau
pengetahuan dan nilai-nilai.
Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai
masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Sikap moral yang sebenarnya
disebut moralitas. Moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam
tindakan lahiriah. Moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul
tanpa pamrih.
Perilaku moral dikendalikan
oleh konsep-konsep moral. Perilaku
immoral atau tak bermoral adalah perilaku yang tak sesuai dengan harapan
sosial. Perilaku amoral atau nonmoral
lebih disebabkan ketidakpedulian terhadap harapan kelompok sosial dari pada
pelanggaran yang dilakukan dengan sengaja terhadap standar kelompok.
B.
BAGAIMANA
MORALITAS DIPELAJARI?
Belajar berperilaku dengan cara yang disetujui
masyarakat merupakan proses yang panjang dan lama dan terus berlanjut hingga
masa remaja. Belajar berperilaku merupakan salah satu perkembangan penting di
masa kanak-kanak. Sebelum anak masuk sekolah, mereka diharapkan mampu
membedakan yang benar dan yang salah dalam situasi sederhana dan meletakkan
dasar perkembangan hati nurani. Diharapkan mengembangkan skala nilai dan hati
nurani untuk membimbing mereka bila harus mengambil keputusan moral (Hurlock,
1993).
Perbedaan antara peraturan dan hukum dalam beberapa
hal yang penting yaitu sebagai berikut (Hurlock, 1993).
1.
Peraturan dibuat oleh orang yang
bertanggung jawab mengasuh anak dan hukum dibuat oleh pembuat hukum yang
dipilih atau ditunjuk suatu negara
2.
Hukum menentukan hukuman menurut
keinginan atau tingkah orang yang mengawasi anak tersebut
3.
Bila orang belajar tentang hukum maka
mereka juga belajar tentang hukuman atas pelanggarannya. Hanya beberapa anak
menyadari kenyataan bahwa mereka akan dihukum bila melanggar peraturan, sampai
saat mereka betul-betul melanggarnya. Mereka juga tidak mengetahui dengan jelas
bentuk hukumannya sampai mereka menerima hukuman atas pelanggaran yang
dilakukannya.
4.
Beratnya hukuman atas pelanggaran hukum
bervariasi sesuai dengan beratnya tindakan yang dilakukan. Bila suatu peraturan
dilanggar, beratnya hukuman bervariasi menurut perasaan orang yang memberi
hukuman saat itu. Beratnya hukuman sering tidak berhubungan dengan seriusnya
suatu pelanggaran.
5.
Hukuman lebih seragam dan konsisten
dibandingkan peraturan. Hukum berlaku sama bagi seluruh warga suatu negara,
kota atau berbeda bagi anak laki-laki dan anak perempuan, dan bagi anak yang
lebih kecil dan yang lebih besar. Di sekolah, guru A mungkin akan memberikan
hukuman berbeda dengan guru B terhadap bentuk pelanggaran yang sama. Peraturan
permainan dan olahraga mungkin berbeda, bergantung pada pimpinan dan keinginan
anggota kelompok.
C.
PENALARAN
MORAL
Sebagai pendidik anak usia dini, menanamkan
kebiasaan yang baik untuk anak didik agar anak terbiasa melakukan hal-hal baik
atau berperilaku baik. Dengan terbiasanya, anak mereka akan melakukan kebiasaan
baik dengan senang hati. Perilaku moral dilaksanakan dengan sukarela. Moralitas
memang dibangun sejak masa kanak-kanak, namun moralitas sesungguhnya tidak
muncul pada masa kanak-kanak melainkan pada masa remaja. Perkembangan moral
adalah bagian dari proses pembelajaran anak atas aturan-aturan dasar, bagaimana
individu berperilaku terhadap orang lain dalam kehidupan. Lingkungan utama yang
mempengaruhi perkembangan moral individu adalah keluarga, sekolah, dan
hubungan-hubungan sosial. Tugas orang dewasa dalam membantu perkembangan moral
adalah mengalihtugaskan dan memberikan pengertian atas peraturan yang ada pada
kebudayaan anak. Tujuan dari pendidik moral adalah untuk mengembangkan
kesadaran akan benar dan salah atau lebih dikenal dengan hati nurani.
Penalaran moral merupakan faktor penentu yang
melahirkan perilaku moral (Kohlberg, 1977 dalam
C. Asri Budiningsih, 2001). Pengkukuran moral yang benar tidak sekedar
mengamati perilaku moral yang mendasari keputusan perilaku moral. Dengan
mengukur tingkat penalaran moral anak usia dini, pendidik akan dapat mengetahui
rendahnya moral. Tingkat penalaran moral anak usia dini ini penting untuk
diketahui, sebab akan menentukan nasib dan masa depan mereka serta kelangsungan
hidup bangsa Indonesia umumnya.
Tujuan dari pendidikan moral adalah kematangan
moral, dan jika kematangan moral itu adalah suatu yang harus dikembangkan maka
seharusnya para pendidik moral mengetahui proses perkembangan dan cara-cara
membantu perkembangan moral.
D.
TEORI
PERKEMBANGAN MORAL ANAK MENURUT BEBERAPA AHLI
Perkembangan moral adalah perkembangan perilaku
seseorang yang sesuai dengan kode etik dan standar sosial. Banyak ahli
psikologi yang berpendapat bahwa perkembangan moral atau moralitas anak
bergantung dari perkembangan kecerdasarn anak (Hurlock, 1993, Papalia, 1990,
Turner & Helms, 1995, Wolfolk, 2004).
1. Teori Piaget
Piaget mengemukakan dua tahap perkembangan moral
yang dapat dilihat pada Tabel 8.1(hal 8.19)
Piaget menyatakan bahwa perkembangan alasan moral
anak berkembang dalam dua tahapan.
1) Tahap
perkembangan kognitif praoperasional konkret (tahap 1)
2) Tahap
operasional konkret (tahap 2)
Tahapan tersebut sebenarnya mengacu pada pemikiran
Dewey, yang Teorinya dikembangkan lebih lanjut oleh Piaget. Dari teori Dewey
tersebut Piaget menentapkan 3 tahap perkembangan moral yang diikuti dengan
ketentuan umur :
a. Tahap
pra-moral, yaitu anak yang berumur dibawah 4 tahun;
b. Tahap
heteronomous, yaitu anak yang berumur antara
4 – 8 tahun;
c. Tahap
otonomous, yaitu anak yang berumur 9 – 12 tahun.
2. Tahap-tahap Perkambangan Penalaran
Moral menurut Kohlberg (C. Asri Budiningsih, 2001)
Menurut
Kohlberg (1977) tahap perkembangan penalaran moral sebenarnya telah
dipostulatkan sejak lahirnya pemikiran Dewey, yang memandang perkembangan moral
ke dalam 3 tingkatan.
a.
Tingkatan
pra-moral atau pre-conventional
b.
Tingkatan
conventional
c.
Tingkatan
pascaconvetional atau autonomous
3. Teori Selman
Menurut Selman 5 tahapan pengambilan peran (role-taking) adalah Tabel 8.2 (hal 8.27)
E.
KECERDASARN
MORAL DAN KECERDASARN SPIRITUAL
Kecerdasan spiritual
adalah adanya perkembangan aspek mental yang menggerakkan seseorang untuk
konsep agama dengan sukarela (Hibana S. Rachman, 2002). Danah Zohar dan Ian
Marshal (Ginanjar Agustina, 2001 mengatakan kecerdasan untuk menempatkan
perilaku hidup kita dalam konteks makna
yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau
jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain, kemampuan
untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui
langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia seutuhnya,
dan memiliki pola pemikiran, semua karena Tuhan.
Ciri-ciri orang yang
memiliki kecerdasan spiritual menurut Karen Amstrong (2007 dalam Kompas, 12 Maret 2007) adalah dilakukan orang lain padanya
(kaidah emas atau golden rule dari Kant)
atau orang-orang yang tidak memperlakukan orang lain secara serampangan dan
welas asih (menurut Buddha) atau orang yang dapat mengurangi ego sendiri dan
orang-orang yang selalu memeriksa perilaku diri sendiri dari pada mengkritik
orang lain (menurut Amos, Hosea dan Yeremia, pada nabi Yahudi), orang yang
selalu belajar berempati pada orang lain dan mengembangkan visi welas asih di
lingkungan mereka (menurut Socrates).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar