Senin, 29 September 2014

RESUME PERKEMBANGAN DAN KONSEP DASAR PENGEMBANGAN MORAL ANAK USIA DINI



Sebagai seorang pendidik anak usia dini, perlu mempelajari dan mengembangkan semua aspek perkembangan anak. Perkembangan dan konsep dasar pengembangan anak usia dini dari aspek kognitif, motorik, sosial emosional, bahasa dan seni, serta perkembangan nilai-nilai agama.
Pendidikan anak usia dini memegang peranan yang sangat penting dan menentukan bagi sejarah perkembangan anak selanjutnya sebab pendidikan anak usia dini merupakan pondasi bagi dasar kepribadian anak. Anak yang mendapatkan pembinaan yang baik sejak usia dini akan dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan fisik dan mentalnya, dan tentunya akan berdampak pada peningkatan prestasi belajar, etos kerja dan produktivitas. Akhirnya, anak akan lebih mampu untuk mandiri dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki (Hibana, 2002).
Pendidik anak usia dini dapat membantu anak memperoleh pengetahuan keterampilan (motorik, kemandirian, sosialisasi) dan kebiasaan (kebersihan, antri, dan menjalankan disiplin), serta kesenangan untuk belajar. Pengetahuan, keterampilan bermanfaat untuk kesuksesan anak dikemudian hari karena pendidikan usia dini merupakan dasar dari pembentukan kepribadian seseorang dimasa selanjutnya.
Kegagalan pendidikan pada masa usia dini dapat menyebabkan seorang anak malas belajar atau gagal di sekolah, kurang mandiri, kurang bisa bersosialisasi, bahkan mungkin anak-anak tersebut akan menjadi anak yang antisosial sehingga suka menyakiti orang lain atau tawuran atau menjadi koruptor nantinya (Hafidin, 2002). Akibat-akibat buruk tadi semuanya berhubungan dengan pendidikan moral dan nilai-nilai agama. Seorang pendidik adalah teladan yang baik bagi anak didiknya, terutama dalam hal menanamkan tingkah laku atau moral serta nilai-nilai agama yang benar.

Perkembangan Moral Anak Usia Dini
Moral adalah sesuatu istilah yang mempunyai makna sangat luas. Aspek pengembangan moral dan nilai agama ini, bersama dengan aspek pengembangan sosial, emosional dan kemandirian, termasuk dalam aspek pengembangan yang berhubungan dengan pembentuknya perilaku anak usia dini. Pembentukan perilaku harus dikembangkan melalui pembiasaan yang  dilakukan secara terus-menerus. Aspek ini berbeda dengan aspek pengembangan fisik/motorik, bahasa, kognitif, serta seni karena aspek-aspek ini termasuk dalam materi kegiatan pengembangan kemampuan dasar anak usia dini. Pengembangan moral dan nilai agama adalah kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan anak terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan membina sikap anak dalam rangka meletakkan dasar agar anak menjadi warga negara yang baik. Aspek pengembangan sosial emosional dan kemandirian dimaksudkan untuk membina anak agar dapat mengendalikan emosinya secara wajar secara baik, serta dapat menolong dirinya sendiri dalam rangka kecakapan hidup.
A.    PENGERTIAN MORAL, MORALITAS, ETIKA, NILAI DAN KARAKTER
Pengertian dan konsep dasar moral menurut Hurlock (1993, terjemahan) dan (Pratidarmanasiti, 1991 dalam C. Asri Budingsih, 2001), kata moral berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat. Istilah moral sendiri dapat diartikan sebagai ukuran-ukuran yang menentukan benar atau salah. Jadi, pengertian moral mengacu pada aturan-aturan umum mengenai benar-salah atau baik-buruk yang berlaku di masyarakat secara luas (Hidayat, 2005, h.2.4). Dewey mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai Sosial (Grinder, 1978 dalam C. Asri Budingsih, 2001). Sedangkan Baron, dkk. (1980 dalam C. Asri Budingsih, 2001) mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar.
Istilah etika berasal dari kata Yunani, yaitu ethos yang berarti kebiasaan atau custom. Dalam bahasa Latin, mos berarti kebiasaan dan dari sinilah kata moral atau moralitas (mores). Secara etimologis, etika mempelajari kebiasaan manusia yang sebagian terdiri dari konvensi-konvensi, seperti cara berpakaian, tata cara, tata krama, etiket, dan sebagainya. Etika juga dikatakan sebagai filsafat moral atau filsafat kesusilaan.
Etika atau moral mengacu pada nilai-nilai agama karena kebenaran mutlak selalu berlandaskan pada agama, pada kebenaran Tuhan. Mengenai pengertian karakter, Wynne (1991, dalam Megawangi, 2004) mengatakan bahwa dua pengertian karakter. Karakter menunjuk pada bagaimana seseorang bertingkah laku. Misalnya, apabila seseorang bertingkah laku tidak jujur maka orang tersebut dikatakan berkarakter jelek. Sebaliknya, jika ada seseorang berperilaku jujur, suka menolong maka orang tersebut dikatakan memiliki karakter yang mulia. Pendidik akan usia dini diharapkan dapat membantu mengembangkan atau menumbuhkan kebiasaan anak didiknya menjadi anak yang berkarakter mulia (anak yang berakhlak mulia). Nilai adalah orientasi-orientasi atau disposisi sementara dari karakter yang mencakup aksi atau aktivasi atau pengetahuan dan nilai-nilai.
Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas. Moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih.
Perilaku moral dikendalikan oleh konsep-konsep moral. Perilaku immoral atau tak bermoral adalah perilaku yang tak sesuai dengan harapan sosial. Perilaku amoral atau nonmoral lebih disebabkan ketidakpedulian terhadap harapan kelompok sosial dari pada pelanggaran yang dilakukan dengan sengaja terhadap standar kelompok.

B.     BAGAIMANA MORALITAS DIPELAJARI?
Belajar berperilaku dengan cara yang disetujui masyarakat merupakan proses yang panjang dan lama dan terus berlanjut hingga masa remaja. Belajar berperilaku merupakan salah satu perkembangan penting di masa kanak-kanak. Sebelum anak masuk sekolah, mereka diharapkan mampu membedakan yang benar dan yang salah dalam situasi sederhana dan meletakkan dasar perkembangan hati nurani. Diharapkan mengembangkan skala nilai dan hati nurani untuk membimbing mereka bila harus mengambil keputusan moral (Hurlock, 1993).
Perbedaan antara peraturan dan hukum dalam beberapa hal yang penting yaitu sebagai berikut (Hurlock, 1993).
1.      Peraturan dibuat oleh orang yang bertanggung jawab mengasuh anak dan hukum dibuat oleh pembuat hukum yang dipilih atau ditunjuk suatu negara
2.      Hukum menentukan hukuman menurut keinginan atau tingkah orang yang mengawasi anak tersebut
3.      Bila orang belajar tentang hukum maka mereka juga belajar tentang hukuman atas pelanggarannya. Hanya beberapa anak menyadari kenyataan bahwa mereka akan dihukum bila melanggar peraturan, sampai saat mereka betul-betul melanggarnya. Mereka juga tidak mengetahui dengan jelas bentuk hukumannya sampai mereka menerima hukuman atas pelanggaran yang dilakukannya.
4.      Beratnya hukuman atas pelanggaran hukum bervariasi sesuai dengan beratnya tindakan yang dilakukan. Bila suatu peraturan dilanggar, beratnya hukuman bervariasi menurut perasaan orang yang memberi hukuman saat itu. Beratnya hukuman sering tidak berhubungan dengan seriusnya suatu pelanggaran.
5.      Hukuman lebih seragam dan konsisten dibandingkan peraturan. Hukum berlaku sama bagi seluruh warga suatu negara, kota atau berbeda bagi anak laki-laki dan anak perempuan, dan bagi anak yang lebih kecil dan yang lebih besar. Di sekolah, guru A mungkin akan memberikan hukuman berbeda dengan guru B terhadap bentuk pelanggaran yang sama. Peraturan permainan dan olahraga mungkin berbeda, bergantung pada pimpinan dan keinginan anggota kelompok.


C.    PENALARAN MORAL
Sebagai pendidik anak usia dini, menanamkan kebiasaan yang baik untuk anak didik agar anak terbiasa melakukan hal-hal baik atau berperilaku baik. Dengan terbiasanya, anak mereka akan melakukan kebiasaan baik dengan senang hati. Perilaku moral dilaksanakan dengan sukarela. Moralitas memang dibangun sejak masa kanak-kanak, namun moralitas sesungguhnya tidak muncul pada masa kanak-kanak melainkan pada masa remaja. Perkembangan moral adalah bagian dari proses pembelajaran anak atas aturan-aturan dasar, bagaimana individu berperilaku terhadap orang lain dalam kehidupan. Lingkungan utama yang mempengaruhi perkembangan moral individu adalah keluarga, sekolah, dan hubungan-hubungan sosial. Tugas orang dewasa dalam membantu perkembangan moral adalah mengalihtugaskan dan memberikan pengertian atas peraturan yang ada pada kebudayaan anak. Tujuan dari pendidik moral adalah untuk mengembangkan kesadaran akan benar dan salah atau lebih dikenal dengan hati nurani.
Penalaran moral merupakan faktor penentu yang melahirkan perilaku moral (Kohlberg, 1977 dalam C. Asri Budiningsih, 2001). Pengkukuran moral yang benar tidak sekedar mengamati perilaku moral yang mendasari keputusan perilaku moral. Dengan mengukur tingkat penalaran moral anak usia dini, pendidik akan dapat mengetahui rendahnya moral. Tingkat penalaran moral anak usia dini ini penting untuk diketahui, sebab akan menentukan nasib dan masa depan mereka serta kelangsungan hidup bangsa Indonesia umumnya.
Tujuan dari pendidikan moral adalah kematangan moral, dan jika kematangan moral itu adalah suatu yang harus dikembangkan maka seharusnya para pendidik moral mengetahui proses perkembangan dan cara-cara membantu perkembangan moral.



D.    TEORI PERKEMBANGAN MORAL ANAK MENURUT BEBERAPA AHLI
Perkembangan moral adalah perkembangan perilaku seseorang yang sesuai dengan kode etik dan standar sosial. Banyak ahli psikologi yang berpendapat bahwa perkembangan moral atau moralitas anak bergantung dari perkembangan kecerdasarn anak (Hurlock, 1993, Papalia, 1990, Turner & Helms, 1995, Wolfolk, 2004).
1.      Teori Piaget
Piaget mengemukakan dua tahap perkembangan moral yang dapat dilihat pada Tabel 8.1(hal 8.19)
Piaget menyatakan bahwa perkembangan alasan moral anak berkembang dalam dua tahapan.
1)      Tahap perkembangan kognitif praoperasional konkret (tahap 1)
2)      Tahap operasional konkret (tahap 2)
Tahapan tersebut sebenarnya mengacu pada pemikiran Dewey, yang Teorinya dikembangkan lebih lanjut oleh Piaget. Dari teori Dewey tersebut Piaget menentapkan 3 tahap perkembangan moral yang diikuti dengan ketentuan umur :
a.       Tahap pra-moral, yaitu anak yang berumur dibawah 4 tahun;
b.      Tahap heteronomous, yaitu anak yang berumur antara  4 – 8 tahun;
c.       Tahap otonomous, yaitu anak yang berumur 9 – 12 tahun.
2.      Tahap-tahap Perkambangan Penalaran Moral menurut Kohlberg (C. Asri Budiningsih, 2001)
 Menurut Kohlberg (1977) tahap perkembangan penalaran moral sebenarnya telah dipostulatkan sejak lahirnya pemikiran Dewey, yang memandang perkembangan moral ke dalam 3 tingkatan.
a.      Tingkatan pra-moral atau pre-conventional
b.      Tingkatan conventional
c.       Tingkatan pascaconvetional atau autonomous


3.      Teori Selman
Menurut Selman 5 tahapan pengambilan peran (role-taking) adalah Tabel 8.2 (hal 8.27)

E.     KECERDASARN MORAL DAN KECERDASARN SPIRITUAL
Kecerdasan spiritual adalah adanya perkembangan aspek mental yang menggerakkan seseorang untuk konsep agama dengan sukarela (Hibana S. Rachman, 2002). Danah Zohar dan Ian Marshal (Ginanjar Agustina, 2001 mengatakan kecerdasan untuk menempatkan perilaku hidup kita dalam konteks makna  yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain, kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia seutuhnya, dan memiliki pola pemikiran, semua karena Tuhan.
Ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan spiritual menurut Karen Amstrong (2007 dalam Kompas, 12 Maret 2007) adalah dilakukan orang lain padanya (kaidah emas atau golden rule dari Kant) atau orang-orang yang tidak memperlakukan orang lain secara serampangan dan welas asih (menurut Buddha) atau orang yang dapat mengurangi ego sendiri dan orang-orang yang selalu memeriksa perilaku diri sendiri dari pada mengkritik orang lain (menurut Amos, Hosea dan Yeremia, pada nabi Yahudi), orang yang selalu belajar berempati pada orang lain dan mengembangkan visi welas asih di lingkungan mereka (menurut Socrates).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar