Senin, 29 September 2014

Kiat-kiat Hidup Bahagia di zaman “GLOBAL MAKSIAT”

Kiat-kiat Hidup Bahagia di zaman
“GLOBAL MAKSIAT”
By Ustad Arifin Ilham

 1.        Tetap serius dan disiplinkan diri dalam ta’at walau dianggap asing, kampungan, sok alim, riya’, dsb.
2.        Selalu setiap hari mulai waktu fajar berinteraksi dengan Al-Qur’an
3.        “Ihyaaussunnah” konsisten menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah, seperti Tahajut, dhuha, jaga wudhu, membiasakan dzikir disetiap kesempatan dan selalu berjamaah di masjid dimulai waktu subuh.
4.        Hiasilah kehidupan rumah tangga dengan keteladanan dan kemesraan dalam syariatNya
5.        Berbakti kepada Ayah Ibu dengan sepenuh hati
6.        Senang berguru, mengunjungi dan mendengar nasehat ulama yang istiqomah
7.        Duduk dan berkumpul dengan orang-orang sholeh
8.        Hadir di Majlis Ilmu & Dzikir
9.        Selalu menyempatkan duduk di atas sajadah untuk muhasabah diri persiapan hidup setelah mati
10.     Beraktifitas dengan semangat syukur, baik sangka, dan optimis
11.     Segalanya selalu dimulai dengan do’a dan diakhiri dengan tawakal

RESUME PERKEMBANGAN DAN KONSEP DASAR PENGEMBANGAN MORAL ANAK USIA DINI



Sebagai seorang pendidik anak usia dini, perlu mempelajari dan mengembangkan semua aspek perkembangan anak. Perkembangan dan konsep dasar pengembangan anak usia dini dari aspek kognitif, motorik, sosial emosional, bahasa dan seni, serta perkembangan nilai-nilai agama.
Pendidikan anak usia dini memegang peranan yang sangat penting dan menentukan bagi sejarah perkembangan anak selanjutnya sebab pendidikan anak usia dini merupakan pondasi bagi dasar kepribadian anak. Anak yang mendapatkan pembinaan yang baik sejak usia dini akan dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan fisik dan mentalnya, dan tentunya akan berdampak pada peningkatan prestasi belajar, etos kerja dan produktivitas. Akhirnya, anak akan lebih mampu untuk mandiri dan mengoptimalkan potensi yang dimiliki (Hibana, 2002).
Pendidik anak usia dini dapat membantu anak memperoleh pengetahuan keterampilan (motorik, kemandirian, sosialisasi) dan kebiasaan (kebersihan, antri, dan menjalankan disiplin), serta kesenangan untuk belajar. Pengetahuan, keterampilan bermanfaat untuk kesuksesan anak dikemudian hari karena pendidikan usia dini merupakan dasar dari pembentukan kepribadian seseorang dimasa selanjutnya.
Kegagalan pendidikan pada masa usia dini dapat menyebabkan seorang anak malas belajar atau gagal di sekolah, kurang mandiri, kurang bisa bersosialisasi, bahkan mungkin anak-anak tersebut akan menjadi anak yang antisosial sehingga suka menyakiti orang lain atau tawuran atau menjadi koruptor nantinya (Hafidin, 2002). Akibat-akibat buruk tadi semuanya berhubungan dengan pendidikan moral dan nilai-nilai agama. Seorang pendidik adalah teladan yang baik bagi anak didiknya, terutama dalam hal menanamkan tingkah laku atau moral serta nilai-nilai agama yang benar.

Perkembangan Moral Anak Usia Dini
Moral adalah sesuatu istilah yang mempunyai makna sangat luas. Aspek pengembangan moral dan nilai agama ini, bersama dengan aspek pengembangan sosial, emosional dan kemandirian, termasuk dalam aspek pengembangan yang berhubungan dengan pembentuknya perilaku anak usia dini. Pembentukan perilaku harus dikembangkan melalui pembiasaan yang  dilakukan secara terus-menerus. Aspek ini berbeda dengan aspek pengembangan fisik/motorik, bahasa, kognitif, serta seni karena aspek-aspek ini termasuk dalam materi kegiatan pengembangan kemampuan dasar anak usia dini. Pengembangan moral dan nilai agama adalah kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan anak terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan membina sikap anak dalam rangka meletakkan dasar agar anak menjadi warga negara yang baik. Aspek pengembangan sosial emosional dan kemandirian dimaksudkan untuk membina anak agar dapat mengendalikan emosinya secara wajar secara baik, serta dapat menolong dirinya sendiri dalam rangka kecakapan hidup.
A.    PENGERTIAN MORAL, MORALITAS, ETIKA, NILAI DAN KARAKTER
Pengertian dan konsep dasar moral menurut Hurlock (1993, terjemahan) dan (Pratidarmanasiti, 1991 dalam C. Asri Budingsih, 2001), kata moral berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat. Istilah moral sendiri dapat diartikan sebagai ukuran-ukuran yang menentukan benar atau salah. Jadi, pengertian moral mengacu pada aturan-aturan umum mengenai benar-salah atau baik-buruk yang berlaku di masyarakat secara luas (Hidayat, 2005, h.2.4). Dewey mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai Sosial (Grinder, 1978 dalam C. Asri Budingsih, 2001). Sedangkan Baron, dkk. (1980 dalam C. Asri Budingsih, 2001) mengatakan bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar.
Istilah etika berasal dari kata Yunani, yaitu ethos yang berarti kebiasaan atau custom. Dalam bahasa Latin, mos berarti kebiasaan dan dari sinilah kata moral atau moralitas (mores). Secara etimologis, etika mempelajari kebiasaan manusia yang sebagian terdiri dari konvensi-konvensi, seperti cara berpakaian, tata cara, tata krama, etiket, dan sebagainya. Etika juga dikatakan sebagai filsafat moral atau filsafat kesusilaan.
Etika atau moral mengacu pada nilai-nilai agama karena kebenaran mutlak selalu berlandaskan pada agama, pada kebenaran Tuhan. Mengenai pengertian karakter, Wynne (1991, dalam Megawangi, 2004) mengatakan bahwa dua pengertian karakter. Karakter menunjuk pada bagaimana seseorang bertingkah laku. Misalnya, apabila seseorang bertingkah laku tidak jujur maka orang tersebut dikatakan berkarakter jelek. Sebaliknya, jika ada seseorang berperilaku jujur, suka menolong maka orang tersebut dikatakan memiliki karakter yang mulia. Pendidik akan usia dini diharapkan dapat membantu mengembangkan atau menumbuhkan kebiasaan anak didiknya menjadi anak yang berkarakter mulia (anak yang berakhlak mulia). Nilai adalah orientasi-orientasi atau disposisi sementara dari karakter yang mencakup aksi atau aktivasi atau pengetahuan dan nilai-nilai.
Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas. Moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih.
Perilaku moral dikendalikan oleh konsep-konsep moral. Perilaku immoral atau tak bermoral adalah perilaku yang tak sesuai dengan harapan sosial. Perilaku amoral atau nonmoral lebih disebabkan ketidakpedulian terhadap harapan kelompok sosial dari pada pelanggaran yang dilakukan dengan sengaja terhadap standar kelompok.

B.     BAGAIMANA MORALITAS DIPELAJARI?
Belajar berperilaku dengan cara yang disetujui masyarakat merupakan proses yang panjang dan lama dan terus berlanjut hingga masa remaja. Belajar berperilaku merupakan salah satu perkembangan penting di masa kanak-kanak. Sebelum anak masuk sekolah, mereka diharapkan mampu membedakan yang benar dan yang salah dalam situasi sederhana dan meletakkan dasar perkembangan hati nurani. Diharapkan mengembangkan skala nilai dan hati nurani untuk membimbing mereka bila harus mengambil keputusan moral (Hurlock, 1993).
Perbedaan antara peraturan dan hukum dalam beberapa hal yang penting yaitu sebagai berikut (Hurlock, 1993).
1.      Peraturan dibuat oleh orang yang bertanggung jawab mengasuh anak dan hukum dibuat oleh pembuat hukum yang dipilih atau ditunjuk suatu negara
2.      Hukum menentukan hukuman menurut keinginan atau tingkah orang yang mengawasi anak tersebut
3.      Bila orang belajar tentang hukum maka mereka juga belajar tentang hukuman atas pelanggarannya. Hanya beberapa anak menyadari kenyataan bahwa mereka akan dihukum bila melanggar peraturan, sampai saat mereka betul-betul melanggarnya. Mereka juga tidak mengetahui dengan jelas bentuk hukumannya sampai mereka menerima hukuman atas pelanggaran yang dilakukannya.
4.      Beratnya hukuman atas pelanggaran hukum bervariasi sesuai dengan beratnya tindakan yang dilakukan. Bila suatu peraturan dilanggar, beratnya hukuman bervariasi menurut perasaan orang yang memberi hukuman saat itu. Beratnya hukuman sering tidak berhubungan dengan seriusnya suatu pelanggaran.
5.      Hukuman lebih seragam dan konsisten dibandingkan peraturan. Hukum berlaku sama bagi seluruh warga suatu negara, kota atau berbeda bagi anak laki-laki dan anak perempuan, dan bagi anak yang lebih kecil dan yang lebih besar. Di sekolah, guru A mungkin akan memberikan hukuman berbeda dengan guru B terhadap bentuk pelanggaran yang sama. Peraturan permainan dan olahraga mungkin berbeda, bergantung pada pimpinan dan keinginan anggota kelompok.


C.    PENALARAN MORAL
Sebagai pendidik anak usia dini, menanamkan kebiasaan yang baik untuk anak didik agar anak terbiasa melakukan hal-hal baik atau berperilaku baik. Dengan terbiasanya, anak mereka akan melakukan kebiasaan baik dengan senang hati. Perilaku moral dilaksanakan dengan sukarela. Moralitas memang dibangun sejak masa kanak-kanak, namun moralitas sesungguhnya tidak muncul pada masa kanak-kanak melainkan pada masa remaja. Perkembangan moral adalah bagian dari proses pembelajaran anak atas aturan-aturan dasar, bagaimana individu berperilaku terhadap orang lain dalam kehidupan. Lingkungan utama yang mempengaruhi perkembangan moral individu adalah keluarga, sekolah, dan hubungan-hubungan sosial. Tugas orang dewasa dalam membantu perkembangan moral adalah mengalihtugaskan dan memberikan pengertian atas peraturan yang ada pada kebudayaan anak. Tujuan dari pendidik moral adalah untuk mengembangkan kesadaran akan benar dan salah atau lebih dikenal dengan hati nurani.
Penalaran moral merupakan faktor penentu yang melahirkan perilaku moral (Kohlberg, 1977 dalam C. Asri Budiningsih, 2001). Pengkukuran moral yang benar tidak sekedar mengamati perilaku moral yang mendasari keputusan perilaku moral. Dengan mengukur tingkat penalaran moral anak usia dini, pendidik akan dapat mengetahui rendahnya moral. Tingkat penalaran moral anak usia dini ini penting untuk diketahui, sebab akan menentukan nasib dan masa depan mereka serta kelangsungan hidup bangsa Indonesia umumnya.
Tujuan dari pendidikan moral adalah kematangan moral, dan jika kematangan moral itu adalah suatu yang harus dikembangkan maka seharusnya para pendidik moral mengetahui proses perkembangan dan cara-cara membantu perkembangan moral.



D.    TEORI PERKEMBANGAN MORAL ANAK MENURUT BEBERAPA AHLI
Perkembangan moral adalah perkembangan perilaku seseorang yang sesuai dengan kode etik dan standar sosial. Banyak ahli psikologi yang berpendapat bahwa perkembangan moral atau moralitas anak bergantung dari perkembangan kecerdasarn anak (Hurlock, 1993, Papalia, 1990, Turner & Helms, 1995, Wolfolk, 2004).
1.      Teori Piaget
Piaget mengemukakan dua tahap perkembangan moral yang dapat dilihat pada Tabel 8.1(hal 8.19)
Piaget menyatakan bahwa perkembangan alasan moral anak berkembang dalam dua tahapan.
1)      Tahap perkembangan kognitif praoperasional konkret (tahap 1)
2)      Tahap operasional konkret (tahap 2)
Tahapan tersebut sebenarnya mengacu pada pemikiran Dewey, yang Teorinya dikembangkan lebih lanjut oleh Piaget. Dari teori Dewey tersebut Piaget menentapkan 3 tahap perkembangan moral yang diikuti dengan ketentuan umur :
a.       Tahap pra-moral, yaitu anak yang berumur dibawah 4 tahun;
b.      Tahap heteronomous, yaitu anak yang berumur antara  4 – 8 tahun;
c.       Tahap otonomous, yaitu anak yang berumur 9 – 12 tahun.
2.      Tahap-tahap Perkambangan Penalaran Moral menurut Kohlberg (C. Asri Budiningsih, 2001)
 Menurut Kohlberg (1977) tahap perkembangan penalaran moral sebenarnya telah dipostulatkan sejak lahirnya pemikiran Dewey, yang memandang perkembangan moral ke dalam 3 tingkatan.
a.      Tingkatan pra-moral atau pre-conventional
b.      Tingkatan conventional
c.       Tingkatan pascaconvetional atau autonomous


3.      Teori Selman
Menurut Selman 5 tahapan pengambilan peran (role-taking) adalah Tabel 8.2 (hal 8.27)

E.     KECERDASARN MORAL DAN KECERDASARN SPIRITUAL
Kecerdasan spiritual adalah adanya perkembangan aspek mental yang menggerakkan seseorang untuk konsep agama dengan sukarela (Hibana S. Rachman, 2002). Danah Zohar dan Ian Marshal (Ginanjar Agustina, 2001 mengatakan kecerdasan untuk menempatkan perilaku hidup kita dalam konteks makna  yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain, kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia seutuhnya, dan memiliki pola pemikiran, semua karena Tuhan.
Ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan spiritual menurut Karen Amstrong (2007 dalam Kompas, 12 Maret 2007) adalah dilakukan orang lain padanya (kaidah emas atau golden rule dari Kant) atau orang-orang yang tidak memperlakukan orang lain secara serampangan dan welas asih (menurut Buddha) atau orang yang dapat mengurangi ego sendiri dan orang-orang yang selalu memeriksa perilaku diri sendiri dari pada mengkritik orang lain (menurut Amos, Hosea dan Yeremia, pada nabi Yahudi), orang yang selalu belajar berempati pada orang lain dan mengembangkan visi welas asih di lingkungan mereka (menurut Socrates).

RESUME BAHASA INDONESIA Menilai Isi Bacaan



A.    HAKIKAT MEMBACA KRITIS
Saat seorang membaca kritis (critical reading) dia juga melakukan kegiatan membaca dengan bijaksana, penuh tenggang hati, mendalam, evaluatif, serta analitis, dan bukan ingin mencari-cari kesalahan penulis. Membaca  kritis adalah kemampuan memahami makna tersirat dan kemampuan berpikir dan bersikap kritis. Dalam kegiatan membaca kritis, pembaca mengolah bahan bacaan secara kritis. (Harris et. Al. 1983; Smith, 1986; dalam Tarigan, 1988:89).
Membaca kritis merupakan suatu strategi membaca yang bertujuan untuk mendalami isi bacaan berdasarkan penilaian yang logis-rasional, analitis, dan kritis. Pembaca turut terlibat sedemikian rupa secara mendalam dengan pikiran-pikiran penulisnya. Dia melakukan analisis demi analisis dalam memaknai setiap informasi yang tersaji dalam bacaan.
Melalui kegiatan membaca kritis, pembaca bukan hanya sekedar berupaya menemukan fakta-fakta, informasi-informasi, kebenaran-kebenaran yang tertulis dalam suatu bacaan, melainkan juga menemukan alasan-alasan mengapa sang penulis mengatakan/mengemukakan apa yang ditulisnya itu.

B.     KARAKTERISTIK MEMBACA KRITIS
Salah satu ciri dalam membaca kritis adalah berpikir dan bersikap kritis. Berpikir dan bersikap kritis ditandai oleh hal-hal berikut : (a) menginterpretasi secara kritis; (b) menganalisis secara kritis; (c) mengorganisasi secara kritis; (d) menilai secara kritis; dan (e) menerapkan konsep secara kritis (Nurhadi, 1987: 143).
Lebih jauh, Nurhadi (1987) memberikan sejumlah teknik yang dapat digunakan untuk meningkatkan sikap kritis, yakni: (a) kemampuan mengingat dan mengenali bahan bacaan, (b) kemampuan menginterpretasi makna tersirat, (c) kemampuan mengaplikasikan konsep-konsep dalam bacaan, (d) kemampuan menganalisis isi bacaan, (e) kemampuan menilai isi bacaan, (f) kemampuan mencipta (to create) bacaan.
Ranah kognitif dalam taksonomi Bloom, yang sudah direvisi oleh Anderson dan Krathwhol (2001:268). Ranah-ranah dimaksud meliputi hal-hal berikut.
1.      Kemampuan mengingat dan mengenali
Kemampuan mengingat dan mengenali meliputi kemampuan:
a.       Mengenali peristiwa, peristiwa, latar, tempat dan bacaan;
b.      Menyebutkan tokoh-tokoh cerita dan sifat-sifatnya;
c.       Menyatakan kembali definisi-definisi, prinsip-prinsip;
d.      Menyatakan kembali fakta-fakta atau detil bacaan;
e.       Menyatakan kembali fakta-fakta perbandingan, unsur-unsur hubungan;
f.       Sebab-akibat, karakter tokoh.

2.      Kemampuan memahami/menginterpretasi makna tersirat
Kemampuan menginterpretasi makna tersirat ditandai oleh kemampuan berikut:
a.       Menafsirkan maksud kata/frase/kalimat/pernyataan;
b.      Membuat perbandingan-perbandingan antara fakta;
c.       Menentukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan antara fakta;
d.      Menafsirkan makna-makna tersirat suatu bacaan.

3.      Kemampuan mengaplikasikan konsep-konsep
Kemampuan mengaplikasikan konsep-konsep meliputi kemampuan:
a.       Mengikuti petunjuk-petunjuk dalam bacaan;
b.      Menerapkan konsep-konsep/gagasan utama ke dalam situasi baru yang problematik;
c.       Menunjukkan kesesuaian antara gagasan utama dengan situasi yang dihadapi;
d.      Membuat contoh-contoh praktis dari konsep teoritis.
4.      Kemampuan menganalisis
Kemampuan menganalisis ialah kemampuan pembaca melihat komponen-komponen atau unsur-unsur yang membentuk sebuah kesatuan. Pembaca kritis diharapkan melihat fakta-fakta, detil-detil penunjang atau unsur pembentuk yang lain yang tidak disebutkan secara eksplisit.
Kemampuan menganalisis bacaan ditandai oleh kemampuan-kemampuan berikut:
a.       Mengidentifikasi ide pokok bacaan;
b.      Menentukan kalimat utama paragraf;
c.       Membedakan fakta dan opini;
d.      Mengidentifikasi jalan pikiran penulis.

5.      Kemampuan menyimpulkan (Sintetis)
Kemampuan menganalisis bacaan dengan baik akan menjadi dasar bagi kemampuan menyimpulkan bacaan yang tersaji, dihubung-hubungkan, dibanding-bandingkan, ciri dari kerja sintetis dalam kegiatan membaca.
Bentuk atau hasil kerja penyintesisan dapat berupa simpulan/ringkasan/ikhtisar, tema bacaan, judul yang sesuai untuk bacaan, organisasi tulisan.
Contoh-contoh kemampuan menyintesis yang didasari oleh kemampuan menganalisis, meliputi kemampuan berikut:
a.       Menghubung-hubungkan gagasan utama bacaan dan mengungkapkan kembali dengan kata-kata sendiri;
b.      Menyimpulkan bacaan;
c.       Membuat sinopsis;
d.      Mengorganisasikan gagasan utama bacaan;
e.       Menentukan tema bacaan;
f.       Menyusun kerangka bacaan
g.      Membuat judul yang tepat pada sebuah bacaan;
h.      Membuat ringkasan/ikhtisar bacaan.
6.      Kemampuan menilai isi bacaan
Kemampuan menilai bacaan itu meliputi kemampuan-kemampuan Berikut:
a.       Menilai kebenaran setiap gagasan pokok secara keseluruhan;
b.      Menentukan dan membedakan fakta dan opini disertasi alasan;
c.       Menilai dan menentukan hakikat isi tulisan (realitas atau fantasi);
d.      Menentukan maksud/tujuan terselubung penulisnya;
e.       Menilai relevansi pengembangan gagasan dengan tujuan penulisannya;
f.       Menentukan keselarasan antara data yang diungkuapkan dengan simpulan yang dibuat;
g.      Menilai keakuran penggunaan bahasa dalam berbagai tataran.

C.    SYARAT DAN MANFAAT MEMBACA KRITIS
Kegiatan membaca kritis akan dapat dilakukan jika pembaca memenuhi beberapa persyaratan pokok berikut ini:
1.      Memiliki pengetahuan yang memadai mengenai bidang ilmu yang disajikan dalam bacaan;
2.      Tidak tergesa-gesa dalam bertanya dan menilai bacaan;
3.      Berpikir analitis, kritis, logis, dan sistematis;
4.      Menerapkan berbagai metode analisis yang logis dan ilmiah
(Nurhadi, 1988; Harjasujana dkk., 1988)

Beberapa manfaat yang bisa Anda petik dari kegiatan membaca kritis adalah sebagai berikut:
1.      Pemahaman yang mendalam dan komprehensif terhadap materi bacaan;
2.      Kemampuan mengingat yang lebih kuat dan lama sebagai hasil dari usaha memahami berbagai hubungan antarfakta dalam bahan bacaan, antar fakta di luar bacaan, dan hubungan dengan pengalaman personal;
3.      Kepercayaan diri yang mantap dalam memberikan pendapat tentang isi bacaan.
D.    LANGKAH-LANGKAH MEMBACA KRITIS UNTUK MENILAI BACAAN
Secara sederhana, kritik terhadap teks bacaan dapat dilakukan dengan cara:
1.      Memahami isi bacaan;
2.      Mencari dan mencatat kelemahan-kelemahan bacaan, baik yang menyangkut isi maupun cara penyajian;
3.      Mencari kriteria atau aturan yang benar mengenai objek yang dinilai; dan
4.      Membandingkan kelemahan dengan kriteria.

Memberikan beberapa tips ihwal kegiatan membaca kritis, yakni:
1.      Berpikirlah secara kritis
2.      Lihatlah apa yang ada di balik kata-kata itu untuk mengetahui motivasi penulis.
3.      Waspadalah terhadap kata-kata yang berlebihan, tidak tentu batasnya, emosional, ekstrem, atau generalisasi yang berlebihan.
4.      Waspadailah terhadap perbandingan yang tidak memenuhi persyaratan.
5.      Cermatilah logika penulis yang tidak logis.
6.      Perhatikan pernyataan-pernyataan yang Anda baca.

Langkah-langkah bacaan secara kritis:
a.       Memahami maksud penulis
b.      Memahami organisasi dasar tulisan
c.       Menilai penyajian penulis/pengarang.

1.      Memahami maksud penulis
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam menilai bacaan melalui kegiatan membaca kritis adalah menentukan serta memahami maksud dan tujuan penulis. Kebanyakan tulisan memenuhi satu (atau lebih) dari keempat tujuan tulisan, yaitu: memberitahu (to inform), meyakinkan (to convince), mengajak, mendesak, meyakinkan (to persuade), atau menghibur (to entertain).
Beberapa petunjuk untuk mencari maksud penulis adalah sebagai berikut:
a.       Baca paragraf-paragraf pendahuluan dan paragraf-paragraf penutup.
b.      Kadang-kadang maksud penulis dinyatakan secara eksplisit atau tersirat di bagian tersebut.
c.       Perhatikan pilihan kata dan peletakan penekanan informasi yang menunjang maksudnya itu.
d.      Pahami maksud tulisan dari cara mengorganisasikan tulisan. Pengorganisasian tulisan sering kali mengindikasikan maksud tulisan. Tulisan yang dimaksudkan untuk memberitahukan akan memberikan pokok tulisannya secara langsung dan nyata. Tulisan yang mengandung maksud mendesak atau mengajak akan ditata dalam suatu urutan atau susunan yang logis. Tulisan yang mengandung maksud meyakinkan, selain memenuhi dua kriteria di atas ditambah lagi dengan daya tari yang dapat mendongkrak emosi pembaca.

2.      Memahami organisasi dasar tulisan
Maksud penulis dalam tulisan yang berbentuk artikel biasanya akan tampak dalam pengorganisasian tulisannya, yaitu pendahuluan, isi, dan kesimpulan.

3.      Menilai penyajian penulis/pengarang
Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan untuk menilai bacaan antara lain
a.       Dari segi informasi
1)      Sumber-sumber informasi apakah yang digunakan sang penulis? Apakah sumber-sumber tersebut dapat dipercaya?
2)      Apakah terdapat jurang-jurang dalam informasinya itu? Apakah terdapat petunjuk-petunjuk bahwa dia tidak mengetahui hal itu atau salah memberi keterangan? Bagaimana kita dapat mengecek hal itu?
3)      Apakah analisis atau interpretasinya mengenai informasi itu lengkap? Apakah interpretasinya itu relevan dengan judul/topik?
4)      Apakah terdapat problem-problem atau masalah penting yang harus dipecahkan, namun tidak dipecahkan?
5)      Apakah informasi dan isi umum tulisan sesuai dengan maksud tulisannya?
b.      Dari segi logika:
1)      Apakah sang penulis menuntut intelek pembaca atau perasaan pembaca?
2)      Apakah dia membedakan fakta-fakta dan interpretasinya sendiri mengenai fakta-fakta tersebut?
3)      Apakah sang penulis menunjang pendapat-pendapat serta kesimpulan-kesimpulannya dengan fakta-fakta?
4)      Apakah terdapat sejumlah analisis atau dalam argumen-argumennya?
5)      Apakah dia secara sengaja atau tidak sengaja keliru mengenai buah pikiran?
6)      Apakah dia bisa membedakan fakta dan opini?
7)      Apakah generalisasi yang dibuatnya itu gegabah (membuat suatu pernyataan umum yang tidak didukung oleh fakta-fakta)
8)      Apakah fakta-faktanya itu cukup memuaskan atau tidak berat sebelah?
9)      Apakah terdapat analogi yang salah?
10)  Apakah tidak mengemis masalah? (mengira benar apa yang tidak dibuktikan/belum dibuktikan)/
11)  Apakah penulis berkecenderungan membuat fakta-fakta yang menunjang posisinya (mempergunakan kata-kata yang dibumbui atau kata-kata sugestif untuk menciptakan suatu sikap emosional terhadap masalah suatu masalah).


c.       Dari segi bahasa:
1)      Apakah sang penulis menyandarkan diri pada makna kata-kata yang denotatif, harfiah, pada nilai kata-kata yang konotatif, emosional?
2)      Apakah dia mempergunakan kata-kata emosional yang berlebih-lebihan?
3)      Apakah pilihan kata-katanya memberat sebelahan fakta-fakta yang disajikannya?
4)      Apakah pilihan kata-katanya secara umum, baik sengaja atau tidak sengaja, mempengaruhi pembaca?
5)      Apakah pilihan kata-katanya mencerminkan preferensi-preferensi (pilihan-pilihan), prasangka-prasangka, asumsi-asumsi (anggapan-anggapan), atau sikap-sikapnya sendiri?
d.      Dari segi kualifikasi
Pertanyaan-pertanyaan berikut ini akan menolong kita untuk menilai kemampuan seorang penulis.
1)      Siapa dia? Apa minatnya, kedudukannya, pengalaman-pengalamannya?
2)      Apakah latar belakang pendidikan atau pengalaman yang dimilikinya dapat menjamin mutu tulisannya?
3)      Apakah sumber-sumber informasi yang digunakannya relevan dan dapat dipercaya?
4)      Mengapa dan untuk apa dia menulis buku atau artikel ini?
5)      Apakah dia jujur dan obyektif dalam mempergunakan fakta-faktanya?
e.       Dari segi sumber-sumber informasi:
1)      Apakah informasi-informasi itu diambil dari sumber-sumber yang diakui dan dapat dipercaya?
2)      Apakah informasi-informasi itu diambil dari sumber-sumber ilmiah atau hanya dari sumber-sumber populer?
3)      Apakah ahli-ahli atau sumber-sumber tempat mereka mengambil informasi itu berwewenang dalam bidang mereka?
4)      Apakah majalah-majalah, koran-koran, pamplet-pamplet, buku-buku, atau sumber-sumber itu dapat mengubah interpretasi mereka terhadap fakta-fakta?
5)      Apakah sumber-sumber penulis itu mewakili atau menggambarkan segala jenis masalah, ataukah terbatas pada suatu posisi tertentu saja? Apakah pengarang mengemukakan suara yang sama kepada semua orang yang mengemukakan point of view yang berbeda atau menantang?
6)      Apakah pengarang sadar akan keterbatasan-keterbatasan sumber-sumbernya? Apakah pengarang mempergunakannya secara bijaksana? (Albert, et al. 1961b: 14-16).

E.     MENILAI BACAAN SEHARI-HARI: KORAN DAN MAJALAH
Para pembaca yang bijaksana akan sampai pada kesimpulan-kesimpulan mereka setelah membaca secara kritis dan ekstensif koran-koran mereka sehari-hari secara rutin dan teratur.
1.      Penyensoran tersembunyi (hidden censorship)
2.      Pilihan bahasa (choice of language)
3.      Posisi (position)